Judul : 17 Years of Love Song
Author : Orizuka
Repost by : @GladysAlisa
***
“Gabriel, saya berat ya?”
Gabriel menoleh, lalu nyengir. Saat itu,
mereka sedang ada di terminal, menunggu bus yang berangkat ke arah pantai.
Hampir satu setengah jam Gabriel menggendong Ify, dari sekolah ke terminal.
“Kamu hampir nggak ada beratnya, Fy.” Kata
Gabriel jujur
. Ify memang sangat ringan. Tak heran karena badannya sangat
kurus, terutama bagian kakinya yang sudah tak pernah dipakai lagi selama
beberapa tahun ini.
“Wah, romantis euy,” celetuk seorang
kondektur bus yang sedang beristirahat. “Bolos sekolah, ya?”
Gabriel dan Ify langsung salah tingkah.
Tanpa sengaja, lelaki itu melihat kaki Ify yang kurus tak wajar, lalu mendadak
paham.
“Mau ke mana?” tanyanya lagi, kali ini
dengan nada melunak. Gabriel menoleh, lalu melirik Ify yang tampangnya ragu.
“Mau ke pantai,” jawab Gabriel akhirnya.
Lelaki itu mengangguk-angguk.
“Sebentar lagi ada angkutan yang ke arah
pantai datang,” katanya, membuat Gabriel dan Ify tersenyum simpul. “Nah, itu
dia.”
Lelaki itu bangkit, lalu memandu mereka ke
arah bus berukuran sedang yang baru datang.
“Awas hati-hati, kepala,” katanya, sebelum
Gabriel masuk. Ify menunduk supaya kepalanya tak terantuk.
Penumpang yang sudah ada di bus menatap Gabriel
dan Ify heran, tapi Gabriel tidak begitu memperhatikan. Dia sibuk mencari
bangku yang kosong. Setelah mendapatkannya, dia menurunkan Ify secara perlahan,
dibantu si kondektur tadi. Gabriel merogoh saku, lalu menyodorkan uang
kepadanya.
“Oh, nggak usah,” kata lelaki itu sambil
nyengir. “Semoga senang main di pantainya.”
Lelaki itu bergegas turun, sementara Gabriel
dan Ify saling tatap.
“Baik ya dia,” kata Gabriel, disambut
anggukan Ify.Gabriel duduk disebelah Ify sambil menghela napas kelelahan. Ify
menatap khawatir.
“Capek ya?” tanyanya, membuat Gabriel
menoleh dan nyengir.
“He’eh.” Gumamnya. Ketika wajah Ify jadi
lebih khawatir, Gabriel terkekeh. “Bukan karena kamu kok. Saya Cuma nggak biasa
jalan segitu jauh.”
Ify masih belum percaya padanya. Ify tahu
benar Gabriel pasti kelelahan karena menggendong sepanjang jalan tadi.
Tak berapa lama, bus mulai berjalan dan
melewati jalan berbatu. Gabriel menoleh pada Ify yang sibuk memandang keluar
jendela dengan tampang kagum.
“Fy,” kata Gabriel membuat Ify menoleh.
“Sakit nggak?”
“Apanya?” tanya Ify bingung.
“Kaki kamu. Atau badan kamu,” kata Gabriel
yang khawatir kalau guncangan bus ini membuat badan Ify sakit.
“Nggak kok,” kata Ify sambil tersenyum.
Setelah itu, dia kembali menatap keluar jendela.
Demi melihat semua ini, Ify memang telah
rela merasakan sakit pada badannya,
***
Beberapa jam kemudian, setelah Gabriel dan
Ify sempat tertidur lelap, bus itu akhirnya samapi, Gabriel dan Ify terbangun
karena teriakan kondektur. Gabriel buru-buru menggendong Ify lagi untuk keluar
dari bus.
Pantai memang belum terlihat karena bus
hanya berhenti di depan pintu masuk. Jadi, Gabriel harus berjalan kira-kira
satu kilometer lagi ke dalam. Di punggungnya, Ify tampak sudah asyik mengagumi
pemandangan di sekitarnya.
“Fy,” kata Gabriel tiba-tiba.
“Hmm?” gumam Ify yang masih asyik melihat
pohon kelapa.
“Kamu tutup mata deh,” kata Gabriel lagi. Ify
menurutinya dengan dada berdebar, sementara Gabriel masih terus berjalan.
Tak lama kemudian, Ify bisa mencium bau
asin terbawa angin berembus. Jantung Ify sekarang berdetak lebih cepat, tapi
dia tak berani membuka matanya.
“Iel, kita udah sampai belum?” tanya
dengan suara bergetar.
“Sebentar lagi,” kata Gabriel, yang kesulitan
berjalan karena sepatunya kemasukan pasir, Dia melepaskan sepatunya
sembarangan, lalu berjalan lagi. Beberapa ddetik berikutnya, dia berhenti.
“Nah, sekarang, buka mata kamu.”
Ify membuka matanya perlahan,
mengerjap-ngerjap sebentar untuk membiasakan diri dengan sinar Matahari, dan
akhirnya melihat pemandangan di depan.
Ify tahu dia lupa bernapas. Ify juga tahu
dia lupa mengedip. Tapi, apa yang dilihatnya ini benar-benar indah. Hamparan
pasir yang luas dan laut yang biru ada di depannya. Pemandangan yang selama ini
hanya dia lihat di lukisan.
Setetes air mata jatuh ke pipi Ify.
Setelah itu, dia mendekap mulutnya sendiri, tidak tahu harus berkata apa. Ify
sudah larut dalam kebahagian. Kebahagian karena untuk pertama kali dalam hidup,
dia bisa melihat bagian lain dari dunia ini selain permukaan tanah.
Gabriel membiarkan Ify terisak di
punggungnya, sementara air matanya juga sudah menggenang. Gabriel tidak tahu
apa yang membuatnya sedih, tapi baru kali ini Gabriel sangat senang melihat
pantai.
Setelah beberapa saat, Ify sudah lebih
tenang. Hanya saja, dia belum bisa melepaskan matanya dari laut. Gabriel
menyadarinya.
“Kita ke laut?” ajak Gabriel membuat Ify
kaget.
“Hah? Jangan!” seru Ify, takut. Dia
mencengkram bahu Gabriel keras.
“Nggak apa-apa,” kata Gabriel tenang
sambil bergerak ke arah bibir pantai, membuat Ify langsung mengalungkan
lengannya ke leher Gabriel erat, membuat Gabriel nyaris tak bisa bernapas.
Gabriel menjejakkan kakinya ke pasir yang
basah, menunggu air datang. Sesaat kemudian, ombak yang cukup besar datang ke
arah mereka. Ify sudah menjerit-jerit ketakutan, tapi Gabriel tak bergerak. Dia
membiarkan dirinya tersiram ombak itu.
“AH!!” seru Ify sambil memejamkan matanya
saat ombak mengenai ujung sepatunya. Perlahan Ify membuka matanya, dan ombak
itu sudah pergi, sementara celana Gabriel sudah basah kuyup.
Gabriel tertawamelihat Ify yang ketakutan.
“Lihat, nggak apa-apa kan?” tanya Gabriel,
tapi Ify masih belum yakin.
Saat sebuah ombak datang lagi, dia memang
sudah tidak berteriak, tapi cengkeramannya pada bahu Gabriel masih kuat. Ify
sekarang sibuk menatap ombak itu, bertanya-tanya dalam hati bagaimana rasanya. Gabriel
menyadarinya.
“Kamu mau coba juga?” tanya Gabriel, membuat
mata Ify melebar. Gabriel bergerak untuk menurunkan Ify yang sudah
menggeleng-geleng ketakutan.
“Nggak, nggak, Gabriel jangan!!” kata Ify,
benar-benar takut saat Gabriel melepaskan sepatunya. Gabriel menatapnya
sungguh-sunggu.
“Kamu percaya sama saya, kan?” tanya Gabriel
membuat Ify terdiam, tapi tampak masih ragu. “Fy?”
Ify menggigit bibir, lalu akhirnya
mengangguk. Gabriel nyengir, lalu mengangkat Ify seperti mengangkat anak kecil.
“Pegangan, Fy,” kata Gabriel membuat Ify
cepat-cepat berpegangan pada leher Gabriel, membuat mereka sekarang dalam pose
berpelukan. Hanya saja, kaki Ify tidak menyentuh tanah karena Gabriel
menahannya.
Sebuah ombak sekarang bergulung ke arah
mereka, membuat Ify langsung panik. Dia menjerit-jerit ketakutan. Tapi, pada
saat air menyentuh kakinya, dia terdiam. Gabriel sudah tertawa-tawa.
“Gimana, Fy?” sahutnya. “Asyik, kan?”
Ify menatap Gabriel dengan mata
berkaca-kaca, lalu mengangguk sambil nyengir, persis seperti anak kecil.
“Asyik!!” serunya, membuat Gabriel terbahak.
“Kalau gitu, sekarang gimana kalo kita
berenang?” sahut Gabriel membuat wajah Ify berubah pucat lagi. Gabriel
mengayunkan tubuh Ify dengan mudah seolah mau menceburkannya, membuat Ify
menjerit-jerit ketakutan.
Mereka menghabiskan sore itu dengan
bermain ombak. Sekarang mereka sudah kelelahan dan duduk-duduk di pinggir
pantai. Ify sibuk membuat istana pasir, sementara Gabriel berbaring di
sebelahnya.
Tanpa terasa, hari sudah menjelang senja. Ify
yang sangat konsentrasi membuat benteng di sekeliling istana, tampak tidak
sadar. Sementara itu, Gabriel terduduk sambil melihat pantai.
“IFYAAA!!!” seru Gabriel mengagetkan Ify. Ify
menoleh ke arahnya, yang ternyata sedang melihat ke arah laut. Ify mengikuti
arah pandangannya lalu matanya melebar.
Di depannya, laut sudah berubah warna
menjadi merah. Sekarang, laut menjadi seribu kali lebih indah dibandingkan saat
pertama melihatnya. Laut seperti inilah tepatnya yang ada di lukisan Zevana.
“SELAMAT ULANG TAHUUUUNNN!!” seru Gabriel
lagi, membuat Ify menutup mulutnya sendiri. Air matanya sudah tidak terbendung.
Dia menangis sampai dadanya sesak. Selama tujuh belas tahun hidupnya, dia tidak
pernah sebahagia ini.
***
Gabriel berhenti sebentar untuk
membetulkan posisi Ify yang sudah agak merosot di punggungnya. Ify jatuh
tertidur setelah tadi kelelahan karena menangis. Sebenarnya, Gabriel merasa
bersalah karena sudah membuatnya menangis terus.
Sekarang sudah malam sehingga tak tampak
siapa pun di jalan. Ini membuat Gabriel benar-benar bersyukur. Gabriel takut
dianggap sedang menculik anak orang. Tadi saja, saat menumpang mobil, dia sudah
harus menjelaskan panjang-lebar pada sopir.
Pikiran ini tiba-tiba membuat Gabriel
sakit perut. Ketika berangkat tadi, tanpa pikir panjang, Gabriel membawa Ify.
Sekarang, akal sehatnya sudah kembali. Di sekolah tadi pasti terjadi kekacauan
karena Ify mendadak hilang. Oh, mungkin satu kampung ini sudah heboh karena Ify
hilang.
Gabriel menghela napas. Ini memang sudah
harus terjadi. Gabriel akan menjelaskan semuanya kepada orang tua Ify.
Langkah Gabriel mendadak terhenti melihat
suatu keramaian di depannya.
“Itu mereka!” seru seseorang, yang
dikenali Gabriel sebagai suara Cakka. Sekarang semua orang menoleh ke arahnya.
“Ify!!” seru sebuah suara wanita yang
tergopoh-gopoh mendekati Gabriel. Seorang lelaki yang dikenali Gabriel sebagai
Ayah Ify juga sudah berlari ke arahnya dengan wajah cemas. Cakka ikut berlari
sambil mendorong kursi roda milik Ify.
“Pak, saya….”
“Ify, kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Hanafi
sambil menurunkan Ify dari punggung Gabriel. Ify sendiri belum sadar
sepenuhnya.
“Hm..? Yah..?” gumam Ify masih mengantuj,
sementara dia sudah duduk di kursi rodanya. Ibunya langsung meletakkan selimut
ke atas kaki Ify, lalu mengusap kepalanya khawatir.
“Om, eh, Pak…..”
Hanafi mendelik ke arah Gabriel,
membuatnya tidak jadi bicara. Hanafi sekarang menatap Gabriel tajam. Bahkan,
semua orang sekarang menatapnya tajam, termasuk teman-temannya.
“Apa maksud kamu dengan membawa kabur Ify?”
tanya Hanafi dingin.
“Saya….saya nggak bermaksud buruk, Pak.
Saya….”
“Bagaimana menurut kamu perasaan semua
orang waktu melihat kursi roda Ify di belakang sekolah?” tanya Hanafi lagi,
membuat Gabriel terdiam.
“yah…” kata Ify, tapi Hanafi tak
mendengarkan.
“Kamu adalah orang asing, apa saya salah?”
kata Hanafi lagi, membuat Gabriel tertunduk. “Seorang asing membawa pergi anak
saya, apa menurut kamu saya tidak berhak marah?”
“Maaf, Pak,” kata Gabrieln, benar-benar
menyesal telah membuat orang tua Ify khawatir.
“Bagus kalau kamu minta maaf, tapi saya
tidak akan mengizinkan kamu menemui Ify lagi,” kata Hanafi membuat Gabriel
mengangkat kepala dan menatapnya tak percaya. “Jangan temui Ify lagi. Walaupun
kalian bersekolah di sekolah yang sama, jangan dekati Ify lagi. Apa kamu
mengerti?”
“Tapi, Pak…”
“Apa kamu menyesal?” potong Hanafi.
“Ya, Pak.” Jawab Gabriel.
“Kalau begitu, tolong turuti perintah
saya,” kata Hanafi lagi. “Kehadiran kamu hanya akan membuat pengaruh buruk bagi
anak saya.”
Mata Gabriel mendengar kata-kata Hanafi. Hanafi
kemudian membawa Ify masuk ke rumah, diikuti semua orang. Sayup-sayup Gabriel
mendengar Ify yang berusaha meyakinkan semua orang.
Untuk beberapa saat, Gabriel tidak
bergerak dari posisinya semula.
***
Gabriel melangkah gontai ke dalam
rumahnya. Dia tak tahu bagaimana akhirnya bisa sampai setelah semua kejadian
hari ini.
Gabriel membuka pintu. Dia terkejut
melihat Mamanya duduk di ruang tamu dalam gelap. Saat menyalakan lampu, dia
baru melihat ekspresi aneh di wajah ibunya. Gabriel tahu apa yang akan terjadi
selanjutnya tidak akan bagus.
“Gabriel,” kata Nita denga suara serak.
“Kamu tahu apa yang terjadi hari ini?”
Gabriel tidak menjawab. Dia hanya melihat
wajah Mamanya yang kecewa.
“Mama didatangi orang sekampung waktu
kerja tadi,” kata Nita. “Mereka bilang kamu membawa kabur Ify.”
Gabriel sekarang berusaha menghindari
tatapan ibunya.
“Mama bilang, anak Mama nggak mungkin
melakukan itu,” kata Nita lagi dengan suara tercekat. “Kamu nggak melakukan itu
kan, Iel?”
“Ma, Gabriel Cuma…..”
“Kamu nggak membawa kabur Ify kan, Iel?”
potong Nita, tak sabar. Gabriel menatapnya sebentar.
“maaf, Ma,” kata Gabriel membuat mata Nita
melebar tak percaya. “Tapi, Ma, Gabriel nggak ada maksud buruk, Gabriel Cuma…”
Gabriel belum menyelesaikan kata-katanya, Nita
sudah menangis. Gabriel menatapnya bingung, lalu dia berlutut.
“Ma..” kata Gabriel sambil memegang tangan
Nita. Nita balas memegang tangan Gabriel dan menatapnya sungguh-sungguh.
“Gabriel, janji sama Mama,” katanya. “Janji
sama Mama bahwa kamu nggak akan deket-deket sama Ify lagi.”
“Kenapa?” tanya Gabriel, tak percaya
Mamanya bisa berkata seperti ini. “Dulu Mama bilang bahwa Gabriel nggak boleh
beda-bedain teman?”
“Dulu Mama nggak pernah menyangka akan
terjadi hal seperti ini!” sahut Nita. “Sekarang kamu harus janji, apa pun yang
terjadi, kamu nggak boleh bergaul lagi dengan Ify. Kamu janji kan, Iel?”
“Gabriel… Gabriel nggak ngerti, Ma,” kata Gabriel.
“Sekarang kamu belum mengerti!” sahut Nita
sambil mengguncang Gabriel. “Sekarang kamu belum mengerti. Tapi, suatu saat
kamu pasti berterima kasih karena Mama sudah melakukan ini!”
Setelah itu, Nita terisak
hebat, membuat Gabriel memeluknya.
Malam itu banyak hal yang tak
kumengerti. Apa yang membuat orang tua Ify dan orang tuaku melarang kami
bertemu lagi. Aku tak mengerti.
Tapi Ify, satu hal yang aku
mengerti. Alu tak bisa menjauh darimu, seperti apa pun aku berusaha.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar