Jumat, 05 April 2013

17 Years of Love Song [Just Like The Clouds] #B


Judul : 17 Years of Love Song
Author : Orizuka
Repost by : @GladysAlisa
  
***

“Gabriel, saya berat ya?”

Gabriel menoleh, lalu nyengir. Saat itu, mereka sedang ada di terminal, menunggu bus yang berangkat ke arah pantai. Hampir satu setengah jam Gabriel menggendong Ify, dari sekolah ke terminal.

“Kamu hampir nggak ada beratnya, Fy.” Kata Gabriel jujur
. Ify memang sangat ringan. Tak heran karena badannya sangat kurus, terutama bagian kakinya yang sudah tak pernah dipakai lagi selama beberapa tahun ini.

“Wah, romantis euy,” celetuk seorang kondektur bus yang sedang beristirahat. “Bolos sekolah, ya?”

Gabriel dan Ify langsung salah tingkah. Tanpa sengaja, lelaki itu melihat kaki Ify yang kurus tak wajar, lalu mendadak paham.

“Mau ke mana?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada melunak. Gabriel menoleh, lalu melirik Ify yang tampangnya ragu.

“Mau ke pantai,” jawab Gabriel akhirnya. Lelaki itu mengangguk-angguk.

“Sebentar lagi ada angkutan yang ke arah pantai datang,” katanya, membuat Gabriel dan Ify tersenyum simpul. “Nah, itu dia.”

Lelaki itu bangkit, lalu memandu mereka ke arah bus berukuran sedang yang baru datang.

“Awas hati-hati, kepala,” katanya, sebelum Gabriel masuk. Ify menunduk supaya kepalanya tak terantuk.

Penumpang yang sudah ada di bus menatap Gabriel dan Ify heran, tapi Gabriel tidak begitu memperhatikan. Dia sibuk mencari bangku yang kosong. Setelah mendapatkannya, dia menurunkan Ify secara perlahan, dibantu si kondektur tadi. Gabriel merogoh saku, lalu menyodorkan uang kepadanya.

“Oh, nggak usah,” kata lelaki itu sambil nyengir. “Semoga senang main di pantainya.”

Lelaki itu bergegas turun, sementara Gabriel dan Ify saling tatap.

“Baik ya dia,” kata Gabriel, disambut anggukan Ify.Gabriel duduk disebelah Ify sambil menghela napas kelelahan. Ify menatap khawatir.

“Capek ya?” tanyanya, membuat Gabriel menoleh dan nyengir.

“He’eh.” Gumamnya. Ketika wajah Ify jadi lebih khawatir, Gabriel terkekeh. “Bukan karena kamu kok. Saya Cuma nggak biasa jalan segitu jauh.”

Ify masih belum percaya padanya. Ify tahu benar Gabriel pasti kelelahan karena menggendong sepanjang jalan tadi.

Tak berapa lama, bus mulai berjalan dan melewati jalan berbatu. Gabriel menoleh pada Ify yang sibuk memandang keluar jendela dengan tampang kagum.

“Fy,” kata Gabriel membuat Ify menoleh. “Sakit nggak?”

“Apanya?” tanya Ify bingung.

“Kaki kamu. Atau badan kamu,” kata Gabriel yang khawatir kalau guncangan bus ini membuat badan Ify sakit.

“Nggak kok,” kata Ify sambil tersenyum. Setelah itu, dia kembali menatap keluar jendela.

Demi melihat semua ini, Ify memang telah rela merasakan sakit pada badannya,

***

Beberapa jam kemudian, setelah Gabriel dan Ify sempat tertidur lelap, bus itu akhirnya samapi, Gabriel dan Ify terbangun karena teriakan kondektur. Gabriel buru-buru menggendong Ify lagi untuk keluar dari bus.

Pantai memang belum terlihat karena bus hanya berhenti di depan pintu masuk. Jadi, Gabriel harus berjalan kira-kira satu kilometer lagi ke dalam. Di punggungnya, Ify tampak sudah asyik mengagumi pemandangan di sekitarnya.

“Fy,” kata Gabriel tiba-tiba.

“Hmm?” gumam Ify yang masih asyik melihat pohon kelapa.

“Kamu tutup mata deh,” kata Gabriel lagi. Ify menurutinya dengan dada berdebar, sementara Gabriel masih terus berjalan.

Tak lama kemudian, Ify bisa mencium bau asin terbawa angin berembus. Jantung Ify sekarang berdetak lebih cepat, tapi dia tak berani membuka matanya.

“Iel, kita udah sampai belum?” tanya dengan suara bergetar.

“Sebentar lagi,” kata Gabriel, yang kesulitan berjalan karena sepatunya kemasukan pasir, Dia melepaskan sepatunya sembarangan, lalu berjalan lagi. Beberapa ddetik berikutnya, dia berhenti. “Nah, sekarang, buka mata kamu.”

Ify membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap sebentar untuk membiasakan diri dengan sinar Matahari, dan akhirnya melihat pemandangan di depan.

Ify tahu dia lupa bernapas. Ify juga tahu dia lupa mengedip. Tapi, apa yang dilihatnya ini benar-benar indah. Hamparan pasir yang luas dan laut yang biru ada di depannya. Pemandangan yang selama ini hanya dia lihat di lukisan.

Setetes air mata jatuh ke pipi Ify. Setelah itu, dia mendekap mulutnya sendiri, tidak tahu harus berkata apa. Ify sudah larut dalam kebahagian. Kebahagian karena untuk pertama kali dalam hidup, dia bisa melihat bagian lain dari dunia ini selain permukaan tanah.

Gabriel membiarkan Ify terisak di punggungnya, sementara air matanya juga sudah menggenang. Gabriel tidak tahu apa yang membuatnya sedih, tapi baru kali ini Gabriel sangat senang melihat pantai.

Setelah beberapa saat, Ify sudah lebih tenang. Hanya saja, dia belum bisa melepaskan matanya dari laut. Gabriel menyadarinya.

“Kita ke laut?” ajak Gabriel membuat Ify kaget.

“Hah? Jangan!” seru Ify, takut. Dia mencengkram bahu Gabriel keras.

“Nggak apa-apa,” kata Gabriel tenang sambil bergerak ke arah bibir pantai, membuat Ify langsung mengalungkan lengannya ke leher Gabriel erat, membuat Gabriel nyaris tak bisa bernapas.

Gabriel menjejakkan kakinya ke pasir yang basah, menunggu air datang. Sesaat kemudian, ombak yang cukup besar datang ke arah mereka. Ify sudah menjerit-jerit ketakutan, tapi Gabriel tak bergerak. Dia membiarkan dirinya tersiram ombak itu.

“AH!!” seru Ify sambil memejamkan matanya saat ombak mengenai ujung sepatunya. Perlahan Ify membuka matanya, dan ombak itu sudah pergi, sementara celana Gabriel sudah basah kuyup.

Gabriel tertawamelihat Ify yang ketakutan.

“Lihat, nggak apa-apa kan?” tanya Gabriel, tapi Ify masih belum yakin.

Saat sebuah ombak datang lagi, dia memang sudah tidak berteriak, tapi cengkeramannya pada bahu Gabriel masih kuat. Ify sekarang sibuk menatap ombak itu, bertanya-tanya dalam hati bagaimana rasanya. Gabriel menyadarinya.

“Kamu mau coba juga?” tanya Gabriel, membuat mata Ify melebar. Gabriel bergerak untuk menurunkan Ify yang sudah menggeleng-geleng ketakutan.

“Nggak, nggak, Gabriel jangan!!” kata Ify, benar-benar takut saat Gabriel melepaskan sepatunya. Gabriel menatapnya sungguh-sunggu.

“Kamu percaya sama saya, kan?” tanya Gabriel membuat Ify terdiam, tapi tampak masih ragu. “Fy?”

Ify menggigit bibir, lalu akhirnya mengangguk. Gabriel nyengir, lalu mengangkat Ify seperti mengangkat anak kecil.

“Pegangan, Fy,” kata Gabriel membuat Ify cepat-cepat berpegangan pada leher Gabriel, membuat mereka sekarang dalam pose berpelukan. Hanya saja, kaki Ify tidak menyentuh tanah karena Gabriel menahannya.

Sebuah ombak sekarang bergulung ke arah mereka, membuat Ify langsung panik. Dia menjerit-jerit ketakutan. Tapi, pada saat air menyentuh kakinya, dia terdiam. Gabriel sudah tertawa-tawa.

“Gimana, Fy?” sahutnya. “Asyik, kan?”

Ify menatap Gabriel dengan mata berkaca-kaca, lalu mengangguk sambil nyengir, persis seperti anak kecil.

“Asyik!!” serunya, membuat Gabriel terbahak.

“Kalau gitu, sekarang gimana kalo kita berenang?” sahut Gabriel membuat wajah Ify berubah pucat lagi. Gabriel mengayunkan tubuh Ify dengan mudah seolah mau menceburkannya, membuat Ify menjerit-jerit ketakutan.
Mereka menghabiskan sore itu dengan bermain ombak. Sekarang mereka sudah kelelahan dan duduk-duduk di pinggir pantai. Ify sibuk membuat istana pasir, sementara Gabriel berbaring di sebelahnya.

Tanpa terasa, hari sudah menjelang senja. Ify yang sangat konsentrasi membuat benteng di sekeliling istana, tampak tidak sadar. Sementara itu, Gabriel terduduk sambil melihat pantai.

“IFYAAA!!!” seru Gabriel mengagetkan Ify. Ify menoleh ke arahnya, yang ternyata sedang melihat ke arah laut. Ify mengikuti arah pandangannya lalu matanya melebar.

Di depannya, laut sudah berubah warna menjadi merah. Sekarang, laut menjadi seribu kali lebih indah dibandingkan saat pertama melihatnya. Laut seperti inilah tepatnya yang ada di lukisan Zevana.

“SELAMAT ULANG TAHUUUUNNN!!” seru Gabriel lagi, membuat Ify menutup mulutnya sendiri. Air matanya sudah tidak terbendung. Dia menangis sampai dadanya sesak. Selama tujuh belas tahun hidupnya, dia tidak pernah sebahagia ini.

***

Gabriel berhenti sebentar untuk membetulkan posisi Ify yang sudah agak merosot di punggungnya. Ify jatuh tertidur setelah tadi kelelahan karena menangis. Sebenarnya, Gabriel merasa bersalah karena sudah membuatnya menangis terus.

Sekarang sudah malam sehingga tak tampak siapa pun di jalan. Ini membuat Gabriel benar-benar bersyukur. Gabriel takut dianggap sedang menculik anak orang. Tadi saja, saat menumpang mobil, dia sudah harus menjelaskan panjang-lebar pada sopir.

Pikiran ini tiba-tiba membuat Gabriel sakit perut. Ketika berangkat tadi, tanpa pikir panjang, Gabriel membawa Ify. Sekarang, akal sehatnya sudah kembali. Di sekolah tadi pasti terjadi kekacauan karena Ify mendadak hilang. Oh, mungkin satu kampung ini sudah heboh karena Ify hilang.

Gabriel menghela napas. Ini memang sudah harus terjadi. Gabriel akan menjelaskan semuanya kepada orang tua Ify.

Langkah Gabriel mendadak terhenti melihat suatu keramaian di depannya.

“Itu mereka!” seru seseorang, yang dikenali Gabriel sebagai suara Cakka. Sekarang semua orang menoleh ke arahnya.

“Ify!!” seru sebuah suara wanita yang tergopoh-gopoh mendekati Gabriel. Seorang lelaki yang dikenali Gabriel sebagai Ayah Ify juga sudah berlari ke arahnya dengan wajah cemas. Cakka ikut berlari sambil mendorong kursi roda milik Ify.

“Pak, saya….”

“Ify, kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya Hanafi sambil menurunkan Ify dari punggung Gabriel. Ify sendiri belum sadar sepenuhnya.

“Hm..? Yah..?” gumam Ify masih mengantuj, sementara dia sudah duduk di kursi rodanya. Ibunya langsung meletakkan selimut ke atas kaki Ify, lalu mengusap kepalanya khawatir.

“Om, eh, Pak…..”

Hanafi mendelik ke arah Gabriel, membuatnya tidak jadi bicara. Hanafi sekarang menatap Gabriel tajam. Bahkan, semua orang sekarang menatapnya tajam, termasuk teman-temannya.

“Apa maksud kamu dengan membawa kabur Ify?” tanya Hanafi dingin.

“Saya….saya nggak bermaksud buruk, Pak. Saya….”

“Bagaimana menurut kamu perasaan semua orang waktu melihat kursi roda Ify di belakang sekolah?” tanya Hanafi lagi, membuat Gabriel terdiam.

“yah…” kata Ify, tapi Hanafi tak mendengarkan.

“Kamu adalah orang asing, apa saya salah?” kata Hanafi lagi, membuat Gabriel tertunduk. “Seorang asing membawa pergi anak saya, apa menurut kamu saya tidak berhak marah?”

“Maaf, Pak,” kata Gabrieln, benar-benar menyesal telah membuat orang tua Ify khawatir.

“Bagus kalau kamu minta maaf, tapi saya tidak akan mengizinkan kamu menemui Ify lagi,” kata Hanafi membuat Gabriel mengangkat kepala dan menatapnya tak percaya. “Jangan temui Ify lagi. Walaupun kalian bersekolah di sekolah yang sama, jangan dekati Ify lagi. Apa kamu mengerti?”

“Tapi, Pak…”

“Apa kamu menyesal?” potong Hanafi.

“Ya, Pak.” Jawab Gabriel.

“Kalau begitu, tolong turuti perintah saya,” kata Hanafi lagi. “Kehadiran kamu hanya akan membuat pengaruh buruk bagi anak saya.”

Mata Gabriel mendengar kata-kata Hanafi. Hanafi kemudian membawa Ify masuk ke rumah, diikuti semua orang. Sayup-sayup Gabriel mendengar Ify yang berusaha meyakinkan semua orang.

Untuk beberapa saat, Gabriel tidak bergerak dari posisinya semula.

***

Gabriel melangkah gontai ke dalam rumahnya. Dia tak tahu bagaimana akhirnya bisa sampai setelah semua kejadian hari ini.

Gabriel membuka pintu. Dia terkejut melihat Mamanya duduk di ruang tamu dalam gelap. Saat menyalakan lampu, dia baru melihat ekspresi aneh di wajah ibunya. Gabriel tahu apa yang akan terjadi selanjutnya tidak akan bagus.

“Gabriel,” kata Nita denga suara serak. “Kamu tahu apa yang terjadi hari ini?”

Gabriel tidak menjawab. Dia hanya melihat wajah Mamanya yang kecewa.

“Mama didatangi orang sekampung waktu kerja tadi,” kata Nita. “Mereka bilang kamu membawa kabur Ify.”
Gabriel sekarang berusaha menghindari tatapan ibunya.

“Mama bilang, anak Mama nggak mungkin melakukan itu,” kata Nita lagi dengan suara tercekat. “Kamu nggak melakukan itu kan, Iel?”

“Ma, Gabriel Cuma…..”

“Kamu nggak membawa kabur Ify kan, Iel?” potong Nita, tak sabar. Gabriel menatapnya sebentar.

“maaf, Ma,” kata Gabriel membuat mata Nita melebar tak percaya. “Tapi, Ma, Gabriel nggak ada maksud buruk, Gabriel Cuma…”

Gabriel belum menyelesaikan kata-katanya, Nita sudah menangis. Gabriel menatapnya bingung, lalu dia berlutut.

“Ma..” kata Gabriel sambil memegang tangan Nita. Nita balas memegang tangan Gabriel dan menatapnya sungguh-sungguh.

“Gabriel, janji sama Mama,” katanya. “Janji sama Mama bahwa kamu nggak akan deket-deket sama Ify lagi.”

“Kenapa?” tanya Gabriel, tak percaya Mamanya bisa berkata seperti ini. “Dulu Mama bilang bahwa Gabriel nggak boleh beda-bedain teman?”

“Dulu Mama nggak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini!” sahut Nita. “Sekarang kamu harus janji, apa pun yang terjadi, kamu nggak boleh bergaul lagi dengan Ify. Kamu janji kan, Iel?”

“Gabriel… Gabriel nggak ngerti, Ma,” kata Gabriel.

“Sekarang kamu belum mengerti!” sahut Nita sambil mengguncang Gabriel. “Sekarang kamu belum mengerti. Tapi, suatu saat kamu pasti berterima kasih karena Mama sudah melakukan ini!”

Setelah itu, Nita terisak hebat, membuat Gabriel memeluknya.

Malam itu banyak hal yang tak kumengerti. Apa yang membuat orang tua Ify dan orang tuaku melarang kami bertemu lagi. Aku tak mengerti.

Tapi Ify, satu hal yang aku mengerti. Alu tak bisa menjauh darimu, seperti apa pun aku berusaha.

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar