Judul : 17 Years of Love Song
Author : Orizuka
Repost by : @GladysAlisa
JUST LIKE THE CLOUDS
Pagi ini, sebelum masuk kelas, Gabriel
tanpa sengaja melihat papan pengumuman yang tak seperti biasanya, dihias heboh.
Sekarang dia menatap papan itu datar.
“Emang sih, sebentar lagi….,” gumamnya
sambil menatap salah satu kertas bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun ke-17 buat Alyssa!’. “Tapi,
kalau hari ini…”
Gabriel menghela napas. Dia sama sekali
tidak punya pikiran kalau ulang tahun Ify akan datang secepat ini. Dia belum
menyiapkan kado apa pun.
“Hayo!” seru Cakka yang tiba-tiba muncul.
Cakka nyengir, lalu merangkul Gabriel yang sudah kembali menatap papan
pengumuman. “Ify ulang tahun loh.”
Gabriel melirik Cakka sebal. Memangnya dia
buta huruf?
“Kamu kasih kado apa?” tanya Cakka
kemudian. “Anak-anak di kelas udah nyiapin boneka. Kamu mau ikutan?”
Gabriel menatap Cakka datar. Gadis berusia
17 tahun diberi boneka? Tapi, Gabriel hanya mengangguk. Untuk sementara ini, Gabriel
akan ikut kelasnya dulu saja karena belum punya ide mau memberi apa.
Gabriel berjalan bersama Cakka ke kelas
sambil mengobrol tentang ulang tahun Ify yang selalu dirayakan satu sekolahan
semenjak kelas 1 SMA. Gabriel jadi benar-benar iri pada Ify.
***
“Selamat ulang tahun ya,” kata Gabriel begitu
melihat Ify di dalam kelas. Kelasnya luar biasa ramai karena dihias sedemikian
rupa. Waktu istirahat pun dipakai anak-anak dari berbagai kelas datang untuk
memberikan selamat.
Ify tersenyum lebar, sementara Gabriel
menatap takjub kado yang ada di pangkuannya. Wajah Ify hampir saja tertutupi
tumpukan itu.
“Kamu bener-bener populer ya,” kata Gabriel
sambil membantu Ify mengungsikan beberapa kado di pangkuannya.
“Kan….”
“Kembang desa,” sambar Gabriel sebelum Ify
sempat menyelesaikan kalimatnya, membuat Ify tertawa pelan.
Gabriel baru akan bicara lagi ketika
seseorang menyikutnya sampai terdorong ke pinggir. Gabriel menoleh dan melongo
mendapati semua makhluk di kelasnya sudah berada di dalam kelas Ify. Sekarang,
kelas kecil itu jadi penuh sesak.
“Ifyaaa!! Met ultah yaa!!” sahut Dayat
alias Mance genit sambil menyerahkan kotak besar yang diyakini Gabriel berisi
boneka. “Ini, hadiah dari aku sama Gabriel!”
Gabriel bengong, sementara Mance sudah
dipukul dari berbagai arah dan diseret ke belakang.
“Itu hadiah dari kita semua, Fy!” seru
Lintar disambut anggukan setuju teman-temannya dan helaan napas lega dari Gabriel.
“Makasih ya semua,” jawab Ify sambil
tersenyum manis, membuat Lintar langsung pening.
Tak lama kemudian, Zevana muncul.
“Ini, Fy, dari saya.” Kata Zevana sambil
menyerahkan sebuah gulungan yang diikat pita. Ify menerima, lalu membukanya.
Ternyata, sebuah lukisan wajah Ify.
“Bagus sekali, Ze,” kata Ify dengan mata
berkaca-kaca. “Makasih ya.”
“Nah, sekarang sudah waktunya hiburan!”
sahut Cakka yang datang dari belakang sambil membawa gitar. Teman-temannya
sudah bersorak riuh, sementara Cakka duduk di meja guru.
“Lagu ini liriknya ditulis Ify sendiri.
Judulnya, ‘Hanya Dirimu’,” kata Cakka, dan kemudian suasana kelas itu tampak
tenang.
Cakka mulai memetik gitar, lalu bernyanyi.
“Peluk
aku, jangan lepaskan
Aku tak bisa tanpa dirimu
Dekap aku, agar tetap hangat
Biarkan aku merasakanmu
Seharusnya aku membuatmu
bahagia
Dan tak pernah membuatmu
menangis
Karena hanya kaulah yang bisa
Menghapus segala sedihku
Karena hanya kaulah yang bisa
Membuatku jadi diriku sendiri
Karena hanya kaulah yang bisa
Menjagaku dari ketakutanku
Hanya dirimu
Saat aku jatuh, kau di sini
Membantuku berdiri kembali
Saat aku butuh, kau di sini
Menjagaku dengan segenap hati
Aku tak akan membuatmu
menangis lagi
Dan aku berjanji akan
membuatmu bahagia
Sebahagia diriku bersamamu….”
“Selamat ulang tahun ke-17, Via,” kata
Cakka, menutup lagunya. Setelah itu, semua riuh bertepuk tangan, termasuk Gabriel.
Ify sendiri sudah tidak bisa berkata-kata karena terisak hebat.
Gabriel melirik Ify yang sedang
ditenangkan Via dan Zevana. Sekarang, Gabriel benar-benar tidak tahu harus
memberi hadiah apa. Semua yang terbaik sudah dihadiahkan kepadanya. Gabriel tak
yakin ada yang lebih baik dari lagu ini.
***
“Kamu nggak apa-apa ninggalin mereka?”
tanya Gabriel pada Ify yang sedang sibuk memakai anting. Mereka sekarang ada di
padang ilalang setelah tadi melakukan pesta kecil. Guru-guru mendadak rapat,
entah ada apa lagi.
“Nggak apa-apa, tahun-tahun sebelumnya
juga gitu,” kata Ify sambil menoleh pada Gabriel. “Gimana, cocok nggak?”
Gabriel menatap sepasang anting yang
terpasang di telinga Ify. Gabriel tahu itu anting pemberian Sivia. Gabriel
mengangguk sambil tersenyum. Anting itu memang cocok sekali dengan Ify. Ify
tersenyum malu-malu, lalu melanjutkan membuka kado besar dari kelas Gabriel.
“Ini isinya apa?” tanya Ify sambil
mengguncang-guncang kotak itu.
“Mm… boneka?” kata Gabriel tak yakin. Ify
cepat-cepat membukanya dan mendapati sebuah boneka panda. Ify lalu memeluknya
girang.
“Makasih ya,” kata Ify membuat Gabriel
langsung tak enak hati.
“Mm..Fy, kalau boleh jujur, sebenernya itu
bukan dari saya,” kata Gabriel, membuat Ify menatapnya bingung. “Itu emang dari
kelas saya, tapi saya…nggak tahu kalo kamu ulang tahun hari ini.”
Ify tersenyum simpul. “Nggak apa-apa kok.”
Katanya, membuat Gabriel tambah frustasi. Dia menggaruk-garuk kepalanya kesal.
“Hh.. saya nggak tahu lagi mau ngasih
apaan. Semua orang sudah ngasih hadiah yang bagus-bagus,” kata Gabriel sebal.
“Apalagi si Cakka tuh.”
“Nggak apa-apa kok. Jangan terlalu
dipikirin,” kata Ify sambil membereskan sampah-sampah di sebelahnya.
“Tapi, masa Cuma saya yang nggak ngasih
kado?” kata Gabriel, masih tidak puas.
“Ya udah, ntar nyusul aja,” kata Ify geli
melihat Gabriel yang tampak sibuk berpikir.
“Nggak apa-apa ya? Saya mikir dulu,” kata Gabriel
membuat Ify mengangguk. Gabriel berbaring di atas rumput. Ify juga ikut
berbaring sambil memeluk boneka pandanya.
Gabriel memejamkan mata, sementara angin
bertiup pelan. Tempat ini memang benar-benar nyaman.
“Enak ya di sini, adem.” Kata Gabriel.
“Kalau di Jakarta, berjemur begini bisa langsung gosong.”
Ify menoleh ke arah Gabriel dengan wajah
penasaran.
“Mm.. Jakarta itu kayak gimana sih?” tanya
Ify tiba-tiba, membuat Gabriel langsung membuka matanya.
“Hm.. gimana ya? Yang jelas panas,” kata Gabriel.
“Setelah dipikir-pikir, nggak ada yang menarik juga dengan gedung-gedung
tinggi. Enakan juga di sini.”
“gedung yang paling tinggi yang pernah
saya lihat Cuma balai kota,” kata Ify membuat Gabriel terkekeh.
“Kamu nggak pernah keluar kota?” tanya Gabriel.
“Nggak pernah,” kata Ify membuat Gabriel
menoleh, sedikit terkejut. “Ayah sibuk banget dengan perkebunan sayurnya. Dia
harus bolak-balik ke pasar. Nggak ada hari libur. Ibu juga sibuk bikin jajanan
pasar.”
Gabriel belum melepas tatapannya dari Ify
yang tampak terpejam. Berarti, selama 17 tahun Ify selalu berada di kota kecil
ini. Tiba-tiba, Ify membuka matanya, membuat Gabriel segera mengalihkan
pandangan.
“Eh, Gabriel, sebenernya dari dulu saya
penasaran. Awan itu rasanya gimana ya?” tanya Ify, membuat Gabriel meliriknya
bingung. “Bagaimana rasanya kalau kita pegang? Apa kenyal? Atau langsung
hancur?”
Ify sekarang sudah mengangkat tangannya,
berusaha meraih segumpal awan. Gabriel menatapnya sesaat. Di luar kesadarannya,
dia ikut mengangkat tangannya dan berusaha menggenggam segumpal awan.
“Enak ya kalau kita seperti awan,” kata Ify
kemudian, membuat Gabriel meliriknya lagi. “Kita bisa bebas pergi ke mana pun
yang kita mau. Bisa bebas melihat apa apun yang kita mau.”
Gabriel menatap sebuah gumpalan awan besar
yang berarak.
“Tutup mata kamu, Fy.” Perintah Gabriel
membuat Ify menoleh bingung. Tapi, Ify menutup mata juga akhirnya. “Bayangkan
kalau kamu ada di atas awan itu.”
Ify melihat dirinya duduk di atas awan
putih yang dingin dan lembut. Dia tersenyum sendiri.
“Apa yang mau kamu lihat?” tanya Gabriel
kemudian.
“Mm… pantai,” kata Ify tanpa membuka
matanya. “Matahari tenggelam di pantai yang indah, kayak lukisan Zevana.”
Gabriel menoleh dan menatap Ify. Dia baru
sadar kalau Ify pasti belum pernah melihat pantai seumur hidupnya. Di kota ini
tidak ada pantai dan Ify tidak pernah keluar kota. Gabriel tiba-tiba
mendapatkan ide.
“IFY!” seru Gabriel mengagetkan Ify. Ify
membuka matanya dan menatap bingung Gabriel yang tampak bersemangat.
“Kenapa?” tanya Ify sambil berusaha duduk.
“Saya udah nemu hadiah buat kamu!” kata Gabriel
lagi sambil nyengir bangga. “Saya akan bawa kamu ke pantai!”
Ify tidak bersorak atau apa pun itu.
Jangankan bersorak, tersenyum saja tidak. Gabriel menatapnya bingung.
“Fy? Kamu nggak senang?” tanya Gabriel.
“Gabriel, jangan bercanda,” kata Ify
sambil tersenyum lemah.
“Saya nggak bercanda,” kata Gabriel lagi,
membuat Ify menatapnya serius.
“Saya nggak bisa ke pantai,” kata Ify
pelan.
“Kenapa?” tanya Gabriel, membuat Ify
menatap kaki kurusnya.
“Karena saya nggak bisa jalan,” kata Ify
sambil menggigit bibirnya. Gabriel menatapnya dengan rasa bersalah. Ternyata,
itu yang membuatnya tidak gembira saat Gabriel mengajaknya tadi.
“Siapa bilang kamu harus jalan?” kata Gabriel.
Gabriel nyengir, lalu menepuk dadanya sendiri, “Kan ada saya. Saya akan jadi
awan buat kamu.”
Ify menatap Gabriel tak percaya, tersenyum
ragu. Gabriel mengangguk, lalu berdiri.
“Sip! Sekarang, ayo berangkat!” sahut Gabriel
membuat mata Ify melebar.
“Sekarang?” sahut Ify kaget.
“Loh? Ulang tahun kamu kan sekarang.
Hadiahnya sekarang juga dong,” kata Gabriel sambil membersihkan celananya.
“Tap…tapi Gabriel, sekolah… ayah saya…”
Gabriel berjongkok di sebelah Ify yang bingung.
“Fy, ini Cuma sekali seumur hidup,” kata Gabriel.
“Bolos sehari juga nggak apa-apa, kan? Soal Ayah kamu, ntar saya yang jelasin.”
Ify menatap Gabriel ragu. Ify tidak ingin
bolos sekolah atau pergi tanpa pamit pada Ayahnya, tapi Ify sangat ingin
melihat pantai melebihi apa pun. Gabriel tampak masih menunggu jawaban Ify.
Beberapa saat kemudian, Ify menggangguk.
“Oke!” sahut Gabriel senang, lalu
berjongkok di depan Ify. Ify menatapnya bingung.
“Ngapain, Vin?” tanyanya membuat Gabriel
menoleh.
“Saya bakal jadi awan buat kamu. Ayo
naik!” kata Gabriel membuat Gabriel menatapnya ragu. Akhirnya dia memeluk leher
Gabriel walaupun takut-takut.
Gabriel segera berdiri dengan mudah,
walaupun menggendong Ify. Dia mengambil selimut, lalu memberikannya pada Ify.
Setelah itu, mereka meninggalkan hadiah-hadiah dan kursi roda Ify.
“Gabriel, kita bakal ketahuan nggak, ya?”
tanya Ify takut.
“Tenang aja, kita lewat padang ilalang
biar nggak ketahuan,” kata Gabriel sambil bergerak ke arah padang ilalang yang
terhampar. Gabriel pernah menyusuri jalan ini sebelumnya dan ternyata berakhir
di jalan besar.
Gabriel berjalan pelan sambil menikmati
pemandangan yang indah. Kadang dia berhenti sebentar untuk mengambilkan Ify
beberapa batang ilalang.
Saat itu, aku merasa hanya ada
kita berdua di dunia yang luas ini. Aku bisa merasakan detak jantungmu di
punggungku.
Aku bisa merasakan embusan lembut napasmu. Aku ingin waktu
terhenti, tapi detik terus berjalan.
Ify, maafkan aku yang tak
pernah sadar kalau waktu tak akan berhenti untuk kita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar