Judul : 17 Years of Love Song
Author : Orizuka
Repost by : @GladysAlisa
*******
*******
HERE ON EARTH
Gabriel mengayuh sepeda dengan setengah sadar. Tadi, saatmenuruni bukit, dia hampir menyerempet kambing yang sedang digembala. Sekarang,saat berbelok ke dalam sekolah pun, dia sama sekali tak melihat orang didepannya.
“Eh copot, copoooott!!” seru Dayat yang tersenggol ban sepedaGabriel dan terjatuh. Gabriel tidak ikut terjatuh, tapi langsung turun darisepedanya. Dayat melongo saat melihat lecet di tangannya. “HEH! Kalo naiksepeda itu….”
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Gabriel yang segera jongkok disebelah Dayat. Dayat menatap Gabriel takjub, tak menyangka kalau dia yangmenabrak. “Ada yang sakit?”
“Oh, sakiiitt!!” seru Dayat manja sambil mengulurkan tangannyayang lecet. Gabriel baru akan memegangnya saat mendengar deruman mesin mobil.
Gabriel menoleh, lalu mendapati mobil bak terbuka berhenti didepan sekolah. Gabriel sekarang memperhatikan Hanafi yang turun dari mobil danbergegas menurunkan kursi roda. Dayat telah sama sekali dilupakan Gabriel.
Hanafi membuka pintu mobil, lalu menggendong Ify ke atas kursiroda. Setelah itu, dia mengambil selimut, lalu meletakkannya ke atas pangkuan Ify.Tahu-tahu pandangan Ify bertemu dengan Gabriel.
Ify langsung tersenyum saat melihat Gabriel, yang dibalas dengansenyuman lega. Tiba-tiba, Hanafi ikut menoleh dan menatapnya galak, membuatkeceriaannya lenyap. Gabriel bangkit, lalu berjalan pelan ke arah Hanafi. Tapi,tiba-tiba Sivia datang dari belakangnya dengan berlari kecil.
“Maaf, Pak, saya telat,” katanya sambil memegang kursi roda Ify.
“Ya sudah, kamu bawa Ify masuk,” kata Hanafi tegas, lalu melirikGabriel yang tampak serbasalah.
Sivia segera mendorong kursi roda Ify ke dalam sekolah. Saatmelewati Gabriel, Ify sempat melempar pandang padanya dengan wajah cemas.Sekarang hanya ada Gabriel dan Hanafi.
“Nak,” kata Hanafi membuat Gabriel terkejut.
Dia lantas menatap Hanafi. “Ya, Pak?” jawab Gabriel sesopanmungkin.
“Mulai sekarang, kamu tidak usah menunggu di sini lagi. BiarSivia yang menjemput dia seperti biasa,” kata Hanafi.
“Pak, sebenarnya yang kemarin itu…..”
“Saya sudah dengar dari Ify,” potong Hanafi sebelum Gabrielselesai bicara, “dan anak saya tidak akan berbohong. Tapi, saya tetap tidaksuka dia bergaul dengan orang asing.”
Gabriel terdiam mendengar kata-kata Hanafi.
“Saya yakin orang tua kamu juga cemas karena kemarin kaliantidak meninggalkan pesan apa pun, bukan begitu?” tanya Hanafi, dijawab anggukansamar oleh Gabriel. “Saya juga yakin orang tua kamu tidak mau kamu bergauldengan anak saya. Bukan begitu?”
Gabriel terdiam, tidak melakukan apa pun untuk menjawab Hanafi.Dia hanya membatu menatap tanah.
“Kamu terima saja. Kalian itu berbeda,” kata Hanafi, membuatGabriel mengangkat kepalanya.
“Apanya yang berbeda, Pak?” tanyanya berani, membuat Hanafikehilangan kata-kata sejenak.
“Kalian berbeda…..dunia,” kata Hanafi kemudian, lalu masuk kedalam mobil dan menyalakan mesin. Detik berikutnya, dia sudah menghilang ditikungan, sementara Gabriel masih terdiam di depan pagar sekolah.
Bel masuk sekolah kemudian berbunyi, tapi Gabriel masihbergeming.
Ify, Ayahmu pernah mengatakan kita berbeda dunia. Tapi, aku samasekali tak pernah merasakannya.
Apa kau pernah merasakannya?
***
Akhirnya, bel istirahat berbunyi juga. Sejak datang ke sekolah,dia sudah didiamkan semua orang, termasuk Cakka dan Zevana. Hanya Dayat yangmasih mengajaknya bicara, tapi Gabriel malah risih saat diminta bertanggungjawab atas luka kecil yang dideritanya tadi pagi.
Gabriel menatap keluar jendela. Padang ilalang tampak samaindahnya dengan waktu kemarin. Tapi, ada yang berbeda kali ini. Angin yangmelewati padang itu sekarang tidak membawa harum gadis yang dikenalnya.
Gabriel menghela napas, lalu mengambil glove dan bola dari dalam tas. Disisi lain, Zevana dan Cakka tampak sedang berbicara di depan kelas. Tanpasengaja, Gabriel dan mereka saling tatap. Detik berikutnya, Zevana dan Cakkamembuang muka dan berjalan bersama keluar kelas.
Gabriel menghelas napas lagi. Dia sudah jadi musuh di sekolahnya.Oh, bahkan mungkin di kampungnya. Gabriel bangkit, tak ingin memikirkannyaterus menerus. Dia akan melepas stres dengan latihan baseball di belakang sekolah.
Saat keluar kelas, Gabriel mendapat tatapan sinis darisana-sini, tapi dia tidak peduli. Mendadak, Gabriel menghentikan langkah. Diamelihat Ify yang didorong Sivia sedang bergerak ke arahnya.
“Tapi, Fy, itu bukan salah dia…” kata Ify ddengan wajahmendongak, berusaha meyakinkan Sivia.
“Fy, kalau kamu begini terus, nanti saya ikut kena marahAyahmu,” kata Sivia dengan wajah lelah.
Tiba-tiba, Sivia mengehntikan laju kursi roda. Ify bingung.Lalu, dia menatap ke depan dan tampak Gabriel sedang berdiri canggung didepannya.
“Halo,” kata Gabriel akhirnya pada Sivia, lalu melirik Ify.“Halo, Fy.”
Ify dengan segera tersenyum, lalu melihat Sivia, seolah memintaizin. Sivia mendesah dengan penuh rasa serbasalah.
“Fy, kalaupun saya nggak bilang, banyak anak yang bakal bilangke Ayah kamu,” kata Sivia.
“Ma, sekali ini saja,” kata Ify dengan wajah memohon. Siviamenatapnya sambil menggigit bibir, lalu menatap Gabriel yang ikut memandangnyadengan wajah memelas. Dia mendesah.
“Ya udah. Tapi, kalau ketahuan, saya nggak ikut-ikut ya,” kataSivia, membuat Ify mengangguk gembira. Dia menatap Gabriel yang juga ikuttersenyum.
Sivia perlahan menyingkir, tapi masih menatap mereka waswas.Gabriel sendiri sekarang hanya berdiri di depan Ify sambil memainkan bola didalam glove.
“Kenapa?” tanya Ify karena melihat Gabriel yang tidak sepertibiasanya. Dia menoleh ke kiri-kanan dan melihat semua orang memperhatikanmereka. Ify menatap Gabriel paham. “Kita ngobrol di padang aja yuk?”
Gabriel menatap Ify sebentar, lalu mengangguk. Beberapa orangberbisik saat mereka lewat, tapi Gabriel dan Ify tidak peduli.
Gabriel dan Ify duduk bersebelahan di atas rerumputan sambilmenatap padang ilalang nan indah. Gabriel merasa sudah lama dia tidak ke sini,padahal baru saja kemarin dia dan Ify berada di sini.
“Maaf ya, ulang tahun kamu jadi kacau.” Kata Gabriel. Ifytertawa kecil sambil menggeleng.
“Nggak kok. Yang kemarin itu ulang tahun paling indah yangpernah saya alami.” Kata Ify, tapi tidak cukup untuk membuang rasa sesalGabriel.
“Tapi, saya sudah bikin orang-orang khawatir dengan tindakanceroboh saya,” kata Gabriel lagi.
“Kalau bukan karena tindakan ceroboh itu, mungkin saya nggakakan pernah bisa dapet kado terindah dalam hidup saya,” kata Ify membuatGabriel menatapnya. “Jadi makasih ya karena sudah mengambil resiko itu.”
“Hah, risiko apaan. Saya nggak sekeren itu. Kalau tahuorang-orang bakal sekhawatir itu, saya nggak bakal bawa kamu ke pantai. Sayanggak pikir panjang lagi.”
“Nggak apa-apa kok,” kata Ify lagi. “Saya sih sama sekali nggakmenyesal. Kamu?”
Gabriel terdiam sesaat.
“Saya menyesal sudah bikin semua orang khawatir, Fy. Tadinyasaya bangga sama hadiah saya. Tapi, sekarang saya nggak tahu lagi,” kataGabriel, lalu menghela napas. Ify menatapnya.
“Gabriel… kamu takut dimusuhi semua orang?” tanya Ify membuatGabriel menoleh.
“Bukan,” kata Gabriel. “Saya Cuma takut dimusuhi sama orang tuakamu.”
Ify terdiam sesaat, lalu tersenyum simpul sambil memandangilalang yang bergoyang karena tertiup angin.
“Orang tua saya Cuma salah paham. Saya akan terus meyakinkanmereka bahwa kamu anak yang baik,” kata Ify mmbuat Gabriel terkekeh.
“Emang saya baik?” tanya Gabriel membuat Ify memicing, pura-puramenilai.
“Baik,” kata Ify, membuat Gabriel nyengir malu.
Gabriel dan Ify terdiam untuk beberapa saat, menikmati anginyang berembus. Tiba-tiba Gabriel teringat pada perkataan Ayah Ify pagi tadi.
“Kenapa?” tanya Ify.
“Mm..Fy,” kata Gabriel bingung. “Menurut kamu….kita berbedanggak?”
Ify mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan pertanyaan Gabriel.
“Beda. Kamu laki-laki, saya perempuan,” kata Ify polos, membuatGabriel melongo, tapi kemudian sadar kalau mungkin pertanyaannya ambigu.
“Bukan itu,” kata Gabriel. “Mm..menurut kamu, kita beda dunianggak?”
“Beda dunia?” tanya Ify, bingung. “Hm..menurut saya sih nggak,kecuali kalau kamu salah satu perwujudan makhluk gaib.”
Gabriel terkekeh mendengar kata-kata Ify.
“Memangnya kenapa sih?” tanya Ify lagi.
“Nggak kenapa-kenapa. Cuma….ada yang bilang kalau kita bedadunia,” kata Gabriel membuat Ify terdiam, mendadak paham.
“Oh,” kata Ify sambil menatap kedua kakinya yang kurus. Diamenggigit bibirnya. “Ng..kalau menurut kamu, gimana?”
Gabriel menghela napas sambil menatap ke langit biru, semnetara Ifytidak berani menatapnya. Roknya dicengkeram dan matanya terpancang pada duakakinya.
“Kalau menurut saya…selama masih menghirup udara yang smaa,berpijak pada tanah yang sama, dan ada di bawah langit yang sama, kita ada didunia yang sama,” kata Gabriel membuat Ify menoleh dan menatapnya tak percaya.“Makanya, waktu ada yang bilang bahwa dunia kita beda, saya nggak merasa tuh.”
Gabriel menoleh pada Ify, lalu kaget saat melihat matanya sudahberkaca-kaca.
“Fy!” sahut Gabriel panik. “Kamu kenapa? Saya salah ngomongapa?”
“Gabriel,” kata Ify di sela isaknya. “Kalau saya nggak bisaberpijak di tanah. Gimana?”
“Oh,” kata Gabriel, yang baru sadar. “Kamu sih kasus spesial.”
Ify tersenyum, tapi masih terisak. Gabriel biingung sendiribagaimana menghiburnya.
Ify, apa kau ingat saat itu? Saat aku mengatakan kita ada didunia yang sama? Itu juga berlaku untuk seberapa pun jauh jarak memisahkankita.
Selama kita bernapas di udara yang sama, berpijak pada tanahyang sama, dan ada di bawah langit yang sama, seberapa jauh pun jarak yangmemisahkan, kita tetap ada di dunia yang sama.
Ify, tidakkah kau pikir begitu?
***
“Gabriel, sebentar,” kata Cakka saat akan masuk ke dalam kelas.Gabriel berhenti, lalu menatapnya. Zevana juga ada di sebelahnya. Mereka menujusebuah koridor yang sepi.
Gabriel menunggu mereka bicara, sementara Zevana dan Cakkasaling pandang.
“Gabriel, sebenarnya kita kecewa sama kamu,” kata Cakka membukapercakapan dan sudah langsung mengena di hati Gabriel. “Kami sama sekali nggaknyangka kamu akan senekat itu ngajak Ify pergi.”
“Saya Cuma ngajak Ify ke….”
“Pantai, kami tahu,” potong Zevana. “Dan nggak ada satu pun darikami yang kepikiran hadiah itu.”
Gabriel mengangguk-angguk, entah harus lega atau masih khawatirkarena wajah Zevana dan Cakka masih tak bisa ditebak.
“Tapi, tetap saya kamu ngajak dia kabur. Semua orang khawatir,”kata Cakka.
“Ya, saya tahu dan minta maaf karena sudah bikin kaliankhawatir,” kata Gabriel. “Waktu itu saya nggak mikir panjang. Saya nyeselbanget. Saya bisa ngerti kalau kalian marah sama saya.”
Cakka dan Zevana saling pandang, lalu mendesah.
“Kami berdua sih udah nggak marah sama kamu. Tapi, kamu jugaharus minta maaf sama semua orang di sini,” kata Zevana. “Semua orang iut sibukmencari kalian.”
“Saya sih mau aja,” kata Gabriel. “Tapi gima….”
“Nih,” kata Cakka sambil mneyodorkan pelantang yang sudahberwarna kuning, yang dikenal Gabriel sebagai alat pengeras suara saat kepalasekolah berpidato. Gabriel menatap alat itu, lalu berpaling pada Cakka yangsudah tersenyum. “Sisanya, tinggal gimana kamu.”
Gabriel menerima pelantang itu, lalu menggenggamnya erat.
“Tes-tes. Haloo!!”
Dia sekarang berada di lapangan upacara, sementara beberapakepala melongok penasaran dari dalam kelas.
“Mm..anu…,” kata Gabriel dengan suara berdengung, tak akindengan apa yang dilakukannya. “Nama saya Gabriel..”
Saat melihat sekeliling, nyali Gabriel jadi ciut. Semakin banyakkepala bermunculan di jendela kelas. Bahkan, beberapa siswa sudah keluar kelasuntuk melihat apa yang dilakukannya. Tapi, begitu kepala Ify muncul di salahsatu jendela, Gabriel mendadak percaya diri.
“Semuanya, maaf sudah mengganggu aktivitas kalian. Saat ini,saya harus mengatakan sesuatu,” kata Gabriel, sambil melirik Ify yang bingung.Dia mengambil napas. “Saya Cuma mau minta maaf karena kemarin sudah mengajak Ifypergi tanpa memberitahukan siapa pun. Saya juga minta maaf karena membuatteman-teman semua khawatir. Saya benar-benar minta maaf.”
Beberapa guru terlihat sebal karena kelasnya diganggu. Gabrielyang menyadari itu berkata, “Saya minta maaf juga untuk guru-guru yang jaditerganggu acara mengajarnya,” kata Gabriel. “Saya janji Cuma sebentar.”
Guru-guru sekarang sudah menatap Gabriel penuh minat, begitupula para siswa.
“Saya tahu Ify paling disayang di sekolah ini atau mungkin didesa ini. Saya benar-benar menyesal tela ceroboh membawa Ify pergi begitu sajatanpa tahu resiko. Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf,” kata Gabrieldengan suara menggema di seantero sekolah. “Kalian adalah orang-orang yangsangat berarti untuk Ify. Membuat kalian khawatir, benar-benar membuat sayamenyesal. Saya janji tidak akan melakukan hal itu lagi.”
Untuk beberapa saat, Gabriel berdiri di tengah lapangansementara tatapan semua orang sekarang sudah melunak.
“Ya sudah, Gabriel, kamu kembali ke kelas,” kata Pak Muji yangberdiri di depan kelas. “Ulangan saya jadi tertunda.”
Gabriel mengangguk, lalu melirik Ify yang tersenyum padanya. Disebelahnya, Sivia juga ikut tersenyum samar. Gabriel balas tersenyum.
Ify, saat itu, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Sampai sekarang pun, kita masih tidak tahu.
Kalau aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan kembali ke masaitu. Masa pada saat aku memegang pengeras suara di tengah lapangan upacara,meminta maaf karena semua orang telah mengkhawatirkan dirimu.
Saat itu, aku adalah orang yang berani. Tapi Ify, maafkan akukarena akan mengecewakanmu.
***
“Ify sudah lama?” tanya Hanafi begitu melihat Ify di pagarsekolah. Sivia yang tadinya duduk di bangku di sebelah Ify langsung berdiri.“Sivia, terima kasih ya sudah menjaga Ify hari ini.”
“Eh, iya, pak,” kata Sivia salah tingkah. Ify tersenyum geli.
“Ya sudah. Ayo, Fy. Kita sudah terlambat untuk periksa kedokter,” kata Hanafi sambil menggendong Ify ke jok mobil. Setelah itu, diamengangkat kursi roda ke atas bak. Dia menatap Sivia. “Mari.”
Sivia mengangguk, lalu menatap mobil yang ditumpangi Ify hinggamenghilang di tikungan. Beberapa saat kemudian, Gabriel keluar dari balik pagardengan tampang jahil.
“Makasih ya, Vi.” Kata Gabriel membuat Sivia segera salahtingkah.
“Saya ngelakuin ini supaya Ify nggak dimarahin Ayahnya.” KataSivia cepat. Dia cepat-cepat pergi sebelum Gabriel sempat bicara lagi.
Gabriel menghela napas, lalu mulai mengayuh sepedanya.
***
“Fy, nanti sama Dokter Nita jangan ungkit-ungkit masalahkemarin,” kata Hanafi sesampainya mereka di puskesmas.
“Yah,” kata Ify sambil memegang kursi roda sehingga kursirodanya terhenti. Ify mendongak untuk menatap Ayahnya. “Ayah nggak mau mintamaaf sama dokter Nita karena kemarin sudah menuduhnya yang nggak-nggak?”
“Ify, apa pun alasannya, Gabriel tetap salah karena sudahngajak kamu pergi begitu saja,” kata Hanafi tegas. “Ayah tidak harus mintamaaf. Justru dia yang harus minta maaf. Tapi, Ayah sudah tidak pikirkan lagi.Sekarang, ayo kita masuk.”
Ify tidak bisa berkata apa pun lagi saat Hanafi mendorongnya kedalam puskesmas. Beberapa saat kemudian, Ify dipanggul masuk ke dalam ruanganperiksa. Hanafi membukakan pintu untuk Ify, sementara Ify bergerak masuk. Nitamenoleh, lalu bangkit dan mengampiri mereka.
“Halo, Fy,” sapa Nita pada Ify yang balas tersenyum. Nitaberalih pada Hanafi yang tampangnya datar. “Pak.”
“Dokter, tolong anak saya diperiksa,” kata Hanafi dingin, lalumenepuk pundak Ify.
“Pak, tunggu sebentar,” kata Nita membuat Hanafi berbalik. Nitamengambil napas sebentar. “Saya mau minta maaf atas kelakuan anak sayakemarin.”
Mata Ify melebar, sementara Hanafi menghampirinya.
“Saya tidak tahu apa yang membuat anak saya begitu. Saya kemarinyakin dia tidak akan membawa kabur Ify. Tapi, saya salah dan saya minta maaf,”kata Nita lagi.
“Dokter, bukan salah Gabriel…”
“Saya akan memastikan yang seperti ini tidak terjadi lagi,” kataNita memotong kata-kata Ify. Ify menatap Nita yang tampak sungguh-sungguhdengan perkataan itu.
“Baiklah, Dok,” kata Hanafi akhirnya. “Sekarang saya mintatolong periksa anak saya.”
“Baik, Pak,” kata Nita. Hanafi bergerak menuju ruang tunggusementara Nita membawa Ify masuk.
Nita memeriksa Ify dalam diam. Kadang, dia bertanya di mana yangsakit saat memeriksa perutnya, tapi selebihnya dia tak bicara apa pun. Nitasedang menulis resep, sementara Ify memperhatikannya.
“Dokter,” kata Ify, tak membuat Nita berhenti menulis.“Sebenernya Gabriel nggak salah. Dia Cuma mau ngasih saya hadiah……”
“Ify,” kata Nita, yang sekarang sudah berhenti menulis danmenatap Ify serius. “Mulai saat ini, saya mohon, kamu jangan deketin anak sayalagi.”
Mata Ify melebar mendengar kata-kata Nita.
“Walaupun mungkin dia yang akan mendekati kamu, tapi saya mohon,hindari dia,” kata Nita lagi, sementara Ify bingung.
“Tapi, Dok, kenapa…..?”
“Ini demi kebaikan kamu juga,” kata Nita. “Suatu saat, kamu akantahu sebabnya. Daripada kamu menaruh harapan yang tidak-tidak, sebaiknya kamuhentikan dari sekarang.”
“Apa maksudnya? Saya nggak ngerti,” kata Ify lagi.
“Suatu saat kamu akan mengerti, Fy,” kata Nita sambilmenggenggam tangan Ify. “Kamu hanya masih terlalu muda untuk mengerti. Sayanggak mau suatu saat nanti kamu menderita.”
Ify terdiam, sama sekali tak mengerti dengan apa yang dikatakanNita. Jadi, dia hanya menggeleng pelan.
“Ify, saya bicara ini bukan sebagai dokter, tapi sebagai seorangibu. Ibu dari Gabriel. Kalau saya bilang kamu jangan dekati anak saya, sepertihalnya Ayah kamu melarang Gabriel mendekati kamu, kamu akan menurutinya, kan?”tanya Nita lagi.
Ify menunduk sambil menggigit bibir. Di pangkuannya, tangan Nita menggengam erat tangannya. Ify benar-benar tidak tahu apa yangsebenarnya dipikirkan para orang tua.
Yang dia tahu, mulai besok tidak akan ada lagi jam istirahatyang diisi dengan duduk-duduk di padang ilalang sambil menikmati embusan anginbersama Gabriel.
****
Holla, tinggal 8 part lagi + epilog.
Happy waiting yaaa!! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar